Rabu, 26 Oktober 2011

TULISAN 1


Wujud Kebudayaan Masyarakat Indonesia
(perbandingan suku jawa dan suku bugis)

Ide atau gagasan
Kenyataan bahwa bangsa indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan keanekaragaman budaya. Dari sekian banyak suku bangsa tersebut terdapat dua pilihan yg akan di bahas lebih lanjut yaitu suku jawa dan suku bugis.

Suku jawa
suku jawa merupakan suku terbesar di indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya. Mereka kerap menyebut dirinya sebagai wong jowo atau tiang jawi. Menurut populasi aslinya, suku jawa menempati wilayah jawa tengah, jawa timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun di luar wilayah itu, sebagian provinsi jawa barat juga banyak suku jawa, seperti cirebon, indramayu, jakarta, dan banten.

Masyarakat jawa mengenal sistem lapisan masyarakat yang nyata perbedaanya. Yaitu antara lain:
1.    Bendono atau Bendoro Raden, yaitu golongan bangsawan keturunan raja-raja.
2.    Priyayi, yaitu pra kaum terpelajar yang memang biasanya berasal dari golongan bangsawan juga.
3.    Wong cilik, yaitu golongan sosial paling bawah, seperti golongan petani di sekitar desa.

Masyarakat jawa dalam berkomunikasi satu sama lain sehari-hari menggunakan bahasa jawa yang bertingkat-tingkat. Secara resmi bahasa jawa dibedakan atas tiga tingkatan, antara lain sebagai berikut:
·         Bahasa ngoko, yaitu bahasa yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal dekat dan akrab, atau dipakai untuk berbicara kepada orang yg lebih muda.
·         Bahasa karma, yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang tingkat sosialnya lebih tinggi.
·         Bahasa madya, yaitu bahasa variasi dari penggunaan bahasa ngoko dan bahasa karma.
Diluar ketiga bahasa tersebut, dikenal dengan bahasa kedaton, yaitu bahasa yang digunakan dilingkungan keraton. Orang jawa terkenal dengan stereotip sifatnya yang lemah lembut, sopan, dan halus. Namun masyarakat jawa tidak suka berterus terang, tidak bersifat terbuka. Mereka lebih suka menyembunyikan perasaan mereka terhadap suatu hal. Ini dikarenakan orang suku jawa mengutamakan keharmonisan dan tenggang rasa.

Suku bugis
Suku Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga bisa dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara seperti di Malaysia, India, dan Australia. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

aktivitas

suku jawa 

suku jawa yang ada di Desa Rantau Lurus mayoritas dari jawa timur, jawa tengah dan jawa barat. Jika melihat kehidupan bercocok tanam mereka juga berbeda dengan bugis dan melayu. Dimulai dari suasana pekarangan dan rumah hingga aktivitas bertani juga berbeda. Pekarangan rumah penduduk jawa memiliki jenis tanaman yang sangat beragam mulai dari tanaman bunga-bunga yang memiliki nilai estetika, di pekarangan mereka juga terdapat tanaman komersil baik tanaman tahunan seperti pohon jati dan kelapa. Tanaman musiman ada semangka, jeruk, nanas, jagung, cabe, pisang, ubi kayu, ubi rambat, daun bawang (jembak), markisa. Tanaman semangka memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi mereka, mereka menjualnya sebelum panen padi tiba, mereka mengatur musim tanam, selama padi dalam pemeliharaan mereka memanen semangka. Mereka mengaku menjual semangka ke pengumpul. Sementara cabe, apabila panen mampu mencapai 5 kg sekali panen, tapi mereka tidak mengkonsumsi sendiri, cabe dijual pada penduduk desa saja. Sementara itu jika mereka panen padi, maka hasil panen sangat sering tidak dijual, tetapi untuk dibawa pulang ke jawa untuk sanak-saudara. Mereka mengaku kerap kali membawa hasil panen padi mereka ke daerah asalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, mereka mengaku bergantung pada hasil semangka, cabe, pisang, daun bawang, ubi kayu, ubi rambat. Masyarakat suku jawa mengaku tidak pernah melakukan kegiatan mencari ikan, mereka
murni mengelola areal pertanian dan ladang saja. Persiapan lahan yang mereka lakukan yang paling menarik adalah melakukan penggulungan gambut dengan cara menyemprot rumpu, menebas, dan kemudian lapisan gambut dengan ketebalan sepanjang jari telunjuk (5-7cm) digulung yang dikenal dengan proses kupas gambut. Gambut yang sudah dikupas atau digulung di tumpuk dan dibakar. Barulah kebudian gambut yang sudah dibakar disebar ke areal tanam yang diyakini sebagai pupuk, kemudian mereka mulai menanam. Apabila banjir tiba apda saat musim penghujan, penduduk suku jawa mengaku memilih bekerja sebagai tenaga upahan di desa lain, dan memilih menunggu musim banjir reda. Aktivitas pertanian suku jawa jika diamati lebih banyak daripada suku melayu, namun kurang dari suku bugis. Dalam mengelola areal pertaniannya, suku jawa juga mengenal istilah royongan, dimana sesama tetangga (suku jawa lainnya), mereka saling membantu panen dan bersih lahan. Siapa yang panen akan dibantu, dan yang dibantu akan membantu panen tetangganya, dengan demikian mereka tidak mengenal sistem upahan dalam panen, mereka hanya mengupah pada saat kegiatan “balik tanah” atau membajak tanah dengan traktor. Curah tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam mengelola areal pertanian seimbang, dimana isteri selalu ikut serta ke sawah ikut suami mengelola lahan.

Suku bugis

Ada hal yang menarik di desa ini yaitu adanya perbedaan aktivitas antar penduduk berdasarkan suku. Penduduk suku bugis mengaku memiliki mata pencaharian utama sebagai petani tambak dan kegiatan bertani padi hanya sebagai sampingan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja, bahkan mereka mampu menyimpan hasil panen sampai satu tahun. Suku bugis sehari-hari juga mengisi waktu dengan membuat arang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kayu yang dipakai untuk membuat arang berasal dari alam. Masyarakat suku bugis juga menanami areal pertanian dan pekarangan mereka dengan tumbuhan komersil. Mereka menanam kelapa dan jagung yang hasilnya dijual kepada pengumpul yang selalu datang dalam 3-4 bulan sekali. Dalam mengelola lahan pertanian padinya, masyarakat suku bugis juga memiliki cara yang berbeda dengan suku jawa dan melayu dalam mengatasi banjir. Areal persawahan dan perkebunan masyarakat sering sekali rusak karena banjir baik banjir air tawar apalagi banjir air asin karena wilayahnya merupakan wilayah pasang surut. Petani suku bugis mengatasi banjir dengan cara menggilirkan jenis aktivitas sesuai musim dengan tepat prediksi, kemungkinan ini merupakan pengalaman mereka selama menjadi nelayan sehingga mampu membaca musim yang sesungguhnya telah mengalami pergeseran. Untuk mengatasi banjir air asin, masyarakat bugis juga memiliki cara berbeda dari lsuku jawa dan melayu, petani bugis tidak menggali tanah warna hitam di areal sawahnya, tapi tanah hitam tersebut mereka padatkan sedemikian rupa berbentuk tanggul dengan tanah hitam padat, sehingga air asin yang masuk ke sawah padi tersaring dan ketika masuk sawah telah berubah menjadi air yang tidak sampai mematikan tanaman padi. Suku bugis memiliki aktivitas yang sangat beragam dan banyak, mulai dari bertani padi, mereka juga mencari ikan di sungai juga bertambak ikan bandeng dan udang. 

Benda atau wujud fisik

Suku jawa

suku jawa benda yang masih sering di pegang hingga sekarang  yaitu keris dan celurit.yang sekarang pun di gunakan untuk acara-acara keraton .misal kan keraton solo dan jogja.

Suku bugis

Badik merupakan salah satu jenis senjata tradisional yang menjadi identitas budaya suku-suku bangsa di bumi melayu, termasuk sebagai senjata khas orang-orang bugis, makasar, mandar, dan sejumlah suku bangsa lainnya di sulawesi selatan, serta etnis-etnis lainnya yang tersebar di berbagai tempat lainnya. Khusus dalam tradisi orang bugis, badik dikenal dengan nama kawali.

.

Referensi :
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2682/kawali-senjata-tradisional-masyarakat-adat-bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar