TULISAN 1
Wujud Kebudayaan Masyarakat Indonesia
(perbandingan
suku jawa dan suku bugis)
Ide atau gagasan
Kenyataan
bahwa bangsa indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan keanekaragaman
budaya. Dari sekian banyak suku bangsa tersebut terdapat dua pilihan yg akan di
bahas lebih lanjut yaitu suku jawa dan suku bugis.
Suku
jawa
suku jawa merupakan suku terbesar di
indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya. Mereka kerap menyebut
dirinya sebagai wong jowo atau tiang jawi. Menurut populasi aslinya,
suku jawa menempati wilayah jawa tengah, jawa timur dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Namun di luar wilayah itu, sebagian provinsi jawa barat juga banyak
suku jawa, seperti cirebon, indramayu, jakarta, dan banten.
Masyarakat jawa mengenal sistem
lapisan masyarakat yang nyata perbedaanya. Yaitu antara lain:
1.
Bendono
atau Bendoro Raden, yaitu golongan bangsawan keturunan raja-raja.
2.
Priyayi,
yaitu pra kaum terpelajar yang memang biasanya berasal dari golongan bangsawan
juga.
3.
Wong
cilik, yaitu golongan sosial paling bawah, seperti golongan petani di sekitar
desa.
Masyarakat
jawa dalam berkomunikasi satu sama lain sehari-hari menggunakan bahasa jawa
yang bertingkat-tingkat. Secara resmi bahasa jawa dibedakan atas tiga
tingkatan, antara lain sebagai berikut:
·
Bahasa
ngoko, yaitu bahasa yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal dekat dan
akrab, atau dipakai untuk berbicara kepada orang yg lebih muda.
·
Bahasa
karma, yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua
atau yang tingkat sosialnya lebih tinggi.
·
Bahasa
madya, yaitu bahasa variasi dari penggunaan bahasa ngoko dan bahasa karma.
Diluar
ketiga bahasa tersebut, dikenal dengan bahasa kedaton, yaitu bahasa yang digunakan dilingkungan keraton. Orang
jawa terkenal dengan stereotip sifatnya yang lemah lembut, sopan, dan halus.
Namun masyarakat jawa tidak suka berterus terang, tidak bersifat terbuka.
Mereka lebih suka menyembunyikan perasaan mereka terhadap suatu hal. Ini
dikarenakan orang suku jawa mengutamakan keharmonisan dan tenggang rasa.
Suku bugis
Suku
Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama
kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu
dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga
administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga bisa
dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis mencapai
angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi
Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara
seperti di Malaysia, India, dan Australia. Suku Bugis adalah suku yang sangat
menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari
tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat
seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu
keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di
zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota
keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar
hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
Salah
satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang.
Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu
kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini
terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19
km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah
ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling
menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui
bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada
kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang
Selatan’. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau
gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka,
agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu,
berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut
animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak
berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
aktivitas
suku jawa
suku
jawa yang ada di Desa Rantau Lurus mayoritas dari jawa timur, jawa tengah dan
jawa barat. Jika melihat kehidupan bercocok tanam mereka juga berbeda dengan
bugis dan melayu. Dimulai dari suasana pekarangan dan rumah hingga aktivitas
bertani juga berbeda. Pekarangan rumah penduduk jawa memiliki jenis tanaman
yang sangat beragam mulai dari tanaman bunga-bunga yang memiliki nilai
estetika, di pekarangan mereka juga terdapat tanaman komersil baik tanaman
tahunan seperti pohon jati dan kelapa. Tanaman musiman ada semangka, jeruk,
nanas, jagung, cabe, pisang, ubi kayu, ubi rambat, daun bawang (jembak),
markisa. Tanaman semangka memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi mereka,
mereka menjualnya sebelum panen padi tiba, mereka mengatur musim tanam, selama
padi dalam pemeliharaan mereka memanen semangka. Mereka mengaku menjual
semangka ke pengumpul. Sementara cabe, apabila panen mampu mencapai 5 kg sekali
panen, tapi mereka tidak mengkonsumsi sendiri, cabe dijual pada penduduk desa
saja. Sementara itu jika mereka panen padi, maka hasil panen sangat sering
tidak dijual, tetapi untuk dibawa pulang ke jawa untuk sanak-saudara. Mereka
mengaku kerap kali membawa hasil panen padi mereka ke daerah asalnya, untuk
memenuhi kebutuhan sehari hari, mereka mengaku bergantung pada hasil semangka,
cabe, pisang, daun bawang, ubi kayu, ubi rambat. Masyarakat suku jawa mengaku
tidak pernah melakukan kegiatan mencari ikan, mereka
murni
mengelola areal pertanian dan ladang saja. Persiapan lahan yang mereka lakukan
yang paling menarik adalah melakukan penggulungan gambut dengan cara menyemprot
rumpu, menebas, dan kemudian lapisan gambut dengan ketebalan sepanjang jari
telunjuk (5-7cm) digulung yang dikenal dengan proses kupas gambut. Gambut yang
sudah dikupas atau digulung di tumpuk dan dibakar. Barulah kebudian gambut yang
sudah dibakar disebar ke areal tanam yang diyakini sebagai pupuk, kemudian
mereka mulai menanam. Apabila banjir tiba apda saat musim penghujan, penduduk
suku jawa mengaku memilih bekerja sebagai tenaga upahan di desa lain, dan
memilih menunggu musim banjir reda. Aktivitas pertanian suku jawa jika diamati
lebih banyak daripada suku melayu, namun kurang dari suku bugis. Dalam
mengelola areal pertaniannya, suku jawa juga mengenal istilah royongan, dimana
sesama tetangga (suku jawa lainnya), mereka saling membantu panen dan bersih
lahan. Siapa yang panen akan dibantu, dan yang dibantu akan membantu panen
tetangganya, dengan demikian mereka tidak mengenal sistem upahan dalam panen,
mereka hanya mengupah pada saat kegiatan “balik tanah” atau membajak tanah
dengan traktor. Curah tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam mengelola
areal pertanian seimbang, dimana isteri selalu ikut serta ke sawah ikut suami
mengelola lahan.
Suku bugis
Ada
hal yang menarik di desa ini yaitu adanya perbedaan aktivitas antar penduduk
berdasarkan suku. Penduduk suku bugis mengaku memiliki mata pencaharian utama
sebagai petani tambak dan kegiatan bertani padi hanya sebagai sampingan untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja, bahkan mereka mampu menyimpan hasil
panen sampai satu tahun. Suku bugis sehari-hari juga mengisi waktu dengan
membuat arang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kayu yang dipakai untuk
membuat arang berasal dari alam. Masyarakat suku bugis juga menanami areal
pertanian dan pekarangan mereka dengan tumbuhan komersil. Mereka menanam kelapa
dan jagung yang hasilnya dijual kepada pengumpul yang selalu datang dalam 3-4
bulan sekali. Dalam mengelola lahan pertanian padinya, masyarakat suku bugis
juga memiliki cara yang berbeda dengan suku jawa dan melayu dalam mengatasi
banjir. Areal persawahan dan perkebunan masyarakat sering sekali rusak karena
banjir baik banjir air tawar apalagi banjir air asin karena wilayahnya
merupakan wilayah pasang surut. Petani suku bugis mengatasi banjir dengan cara
menggilirkan jenis aktivitas sesuai musim dengan tepat prediksi, kemungkinan
ini merupakan pengalaman mereka selama menjadi nelayan sehingga mampu membaca
musim yang sesungguhnya telah mengalami pergeseran. Untuk mengatasi banjir air
asin, masyarakat bugis juga memiliki cara berbeda dari lsuku jawa dan melayu,
petani bugis tidak menggali tanah warna hitam di areal sawahnya, tapi tanah
hitam tersebut mereka padatkan sedemikian rupa berbentuk tanggul dengan tanah
hitam padat, sehingga air asin yang masuk ke sawah padi tersaring dan ketika
masuk sawah telah berubah menjadi air yang tidak sampai mematikan tanaman padi.
Suku bugis memiliki aktivitas yang sangat beragam dan banyak, mulai dari
bertani padi, mereka juga mencari ikan di sungai juga bertambak ikan bandeng
dan udang.
Benda atau
wujud fisik
Suku jawa
suku
jawa benda yang masih sering di pegang hingga sekarang yaitu keris dan celurit.yang sekarang pun di
gunakan untuk acara-acara keraton .misal kan keraton solo dan jogja.
Suku bugis
Badik
merupakan salah satu jenis senjata tradisional yang menjadi identitas budaya
suku-suku bangsa di bumi melayu, termasuk sebagai senjata khas orang-orang
bugis, makasar, mandar, dan sejumlah suku bangsa lainnya di sulawesi selatan,
serta etnis-etnis lainnya yang tersebar di berbagai tempat lainnya. Khusus dalam
tradisi orang bugis, badik dikenal dengan nama kawali.
.
Referensi :
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2682/kawali-senjata-tradisional-masyarakat-adat-bugis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar