Minggu, 07 Oktober 2012

Ritual-ritual di Jawa Tengah dan Jawa Timur


1.    Ritual Sekaten
Romantisme ritual sekaten di kota Surakarta selalu terasa di setiap tahunnya, hampir seluruh warga kota Solo maupun turis dari luar kota pun berbondong memadati istana kesunanan atau yang terletak dekat dengan alun – alun utara kota Surakarta yang pastinya telah dipenuhi dengan para pedagang yang memasarkan segala macam barang jualannya, Selain menjadi berkah untuk para pedagang yang mencari nafkah, Sekaten juga menjadi ritual khusuk yang wajib dilakukan.
Sejarah tradisi Sekaten yang bergulir sejak zaman Majapahit hingga kini, menyisakan misteri besar seputar Gamelan Sekaten yang dipercaya bertuah. Pasalnya, Kraton Solo dan Jogja yang kini masih bertahan, masing-masing memiliki sepasang Gamelan Sekaten.



Kata Sekaten berasal dari istilah agama Islam, Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Ritual untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dimeriahkan berbagai pertunjukan dan pasar rakyat yang memasarkan souvenir dan kerajinan tangan lainnya. Ada pula pameran benda-benda pusaka di Pagelaran Keraton Di bangsal Masjid Agung, dibunyikan gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari mulai pukul 09.00-24.00 (istirahat saat masuk waktu salat).

Sekaten Solo bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang.

Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung.

Maleman Sekaten sendiri oleh wali sanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.

Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar.

Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
1. Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.

2. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.

3. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton.
Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke masjid Agung.

4. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung
Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).

Puncak dari perayaan  Sekaten adalah keluarnya Gunungan dari  Keraton menuju Masjid Agung . Setelah didoakan, gunungan kemudian dibagikan kepada masyarakat.


2.    Ritual Ngalap Berkah
Keraton Surakarta ternyata memiliki hubungan kesejarahan dengan rakyat Banyumas, Jawa Tengah. Ini terbukti dengan digelarnya ritual ngalap berkah oleh Keraton Surakarta di Baturaden, Banyumas. Inilah yang dilakukan para tokoh Keraton Surakarta. Mereka sengaja datang ke Banyumas untuk menggelar acara ritual yang dikenal dengan tradisi ngalap berkah. Sebelum menuju sebuah petilasan di areal obyek wisata Baturaden, Banyumas, mereka lebih dulu mengarak gunungan berupa berbagai hasil bumi.

Didepan sesepuh keraton Surakarta, Gusti Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Sosronegoro, gunungan ini kemudian menjadi rebutan warga. Warga meyakini dengan mendapatkan bagian dari tumpeng itu, yang berupa hasil bumi, akan berkah berupa melimpahnya hasil pertanian mereka. Arak-arakan ini kemudian menuju petilasan Kenconowungu yang berada di bagian utara pintu masuk Baturaden. Petilasan ini merupakan makam kerabat Keraton Surakarta yang telah berusia ratusan tahun. Puluhan tumpeng yang dibawa kerabat keraton kemudian dibelah satu persatu oleh Gusti Kanjeng. Selanjutnya warga menyantap tumpeng bersama para kerabat keraton.

Menurut Gusti Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Sosronegoro, ritual ngalap berkah merupakan tradisi tahunan agar hubungan antara Keraton Surakarta dengan masyarakat Banyumas tetap terjaga. Ritual ini juga dipercaya akan mampu memberikan sugesti kepada rakyat Banyumas, agar daerah itu tetap dijauhkan dari bencana dan hasil pertanian petani melimpah

3.    Ritual Malem Selikuran
Selain hitungan hari seperti Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi. Orang Jawa juga menggunakan hitungan Jawa sebagai penanda waktu tertentu yang dianggap sakral. Malem Selikuran adalah salah satu contohnya. Malem dalam bahasa jawa berarti malam dan selikuran berarti dua puluh satu, sehingga malem selikuran berarti malam yang kedua puluh satu. Adapun malam ke-21 yang disebut malem selikuran terletak di bulan Ramadhan, dipercaya bertepatan dengan malam lailatul qadar.

Pada malam itu, Keraton Surakarta Hadiningrat dan masyarakat Solo biasanya menggelar tradisi berupa kirab seribu tumpeng dari halaman Pagelaran Keraton Surakarta, berjalan menyusuri Jalan Slamet Riyadi dan berakhir di Taman Sriwedari, Solo. Tradisi ini digelar untuk menyambut malam lailatul qadar, sebuah malam yang bagi orang muslim merupakan malam istimewa lebih dari seribu bulan. Seribu tumpeng, menyimbolkan seribu bulan.

Selain itu, tradisi ini ditujukan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan dan wujud permohonan atas keselamatan serta sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya, khususnya Jawa.

Kirab biasanya diawali oleh para prajurit keraton yang membawa simbol-simbol kebesaran keraton. Menyusul di belakangnya belasan wanita dengan pakaian kebaya berwarna-warni menyanyikan bermacam tembang Jawa bernuansa Islami. Selanjutnya adalah kereta kuda yang bernama Retno Puspo dan Retno Juwito yang ditunggangi kerabat keraton.

Dibelakang kereta kuda, diikuti barisan 24 ancak cantoko (tempat sesaji), yang berisi seribu tumpeng serta barisan 21 lampu yang melambangkan Malem Selikuran. Sesampainya di Taman Sriwedari, seribu tumpeng tersebut diserahkan oleh salah seorang kerabat keraton kepada ulama untuk didoakan.

4.    Ritual Mahesa Lawung

Keraton Kasunanan Surakarta menggelar acara ritual budaya Mahesa Lawung, ritual adat Keraton untuk memohon keselamatan dan supaya terhindar dari segala macam mara bahaya. Sesaji Mahesa Lawung sendiri dilaksanakan di Alas Krendawahana sebagai bentuk persembahan kepada Bathari Kalayuwati. Yang diyakini sebagai pelindung gaib Keraton Surakarta di bagian utara.

Alas Krendawahana adalah sebuah hutan yang sampai sekarang masih terkenal dengan keangkerannya. Karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati [Durga]. Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton Surakarta, GPH Puger, menyatakan ritual ini telah menjadi agenda pokok keraton.

“Pemilihan harinya selalu jatuh pada hari Senin atau Kamis dan Pelaksanaan ritual sudah menjadi ketetapan tentang peringatan upacara tradisi dari Keraton Surakarta. ,” jelasnya.

Menurutnya, pelaksanaan kali ini memang tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Perlengkapan sesaji yang digunakannya pun nyaris sama. Di antaranya kepala Mahesa Lawung [kerbau yang masih perjaka dan belum pernah dipekerjakan] beserta empat telapak kakinya, walang atogo [berbagai jenis belalang] sebagai simbol rakyat kecil. Juga sesaji lain yang terdiri atas barang mentah dan matang  yang kesemuanya menyimbolkan makna-makna tertentu, dimana sesaji ini dimaksudkan juga sebagai wilujengan nagari.

Prosesi Mahesa Lawung Keraton Surakarta
Prosesi ritual ditandai dengan keluarnya berbagai sesaji dari Dalem Gondorasan [dapur keraton] sekitar pukul 09.00. Setelah dibawa ke sitihinggil keraton, GPH Puger kemudian menyerahkan ubarampe sesaji kepada utusan keraton.

Usai acara ini rombongan dari keraton yang berjumlah tak kurang dari 500 abdidalem langsung menuju kawasan Alas Krendawahana yang terletak di Desa Krendawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar atau sekitar 20 km dari Keraton Surakarta. Sesampai di Alas Krendawahana, sesaji Mahesa Lawung beserta ubarampe-nya lantas diletakkan di tempat khusus. Yakni di sebuah punden yang letaknya di bawah pohon beringin putih yang cukup besar.

Punden tersebut tiada lain yang selama ini diyakini tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati, pelindung gaib keraton di bagian utara. Setelah semuanya siap, ritual pun dimulai. Namun, sebelumnya dilakukan pembacaan sejarah singkat tentang digelarnya Sesaji Mahesa Lawung oleh salah seorang abdidalem keraton.

Prosesi ritual diawali dengan penyampaian ujub [maksud dan tujuan] ritual. Dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh KRT Pudjodiningrat. Sepanjang prosesi, para abdi dalem yang duduk bersimpuh mengitari punden terlihat amat khusuk. Suasana khidmat dan sakral benar-benar tercipta sepanjang prosesi berlangsug. Terlebih ketika kepulan asap dupa yang sengaja disulut di beberapa tempat seakan menambah kesan tersebut.

Usai ritual doa dan pembacaan mantra-mantra sakti, dilanjutkan memendam kepala kerbau dan sesaji yang terdiri atas barang-barang mentah lain di sekitar punden. Sebagai tumbal untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan.

Sementara itu, sesaji yang terdiri atas barang-barang matang, seperti nasi wuduk, gudangan, jajan pasar, dan lainnya dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam upacara itu. Ada kepercayaan, barang siapa bisa mendapatkan atau memakan barang-barang yang digunakan untuk sesaji itu, apa yang diinginkan kemungkinan besar akan terkabul.

5.    Ritual Batara kathong
Sesungguhnya, ada dua jenis upacara ritual yang dijadikan sentra kegiatan grebegsuro di Kabupaten Ponorogo. Pertama adalah ritual yang dilakukan di makam Batara Kathong dan yang kedua adalah dilakukan di telaga Ngebal. Keduanya, diselenggarakan saat kegiatan grebegsoro sudah mencapai puncaknya.

Upacara ritual di makam Batara Kathong tak lebih merupakan prosesi mengenang sejarah Kabupaten Ponorogo yang keberadaannya tidak bisa dilepas dari tokoh tersebut. Setiap tanggal 1 Muharam Suro, kota Ponorogo diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota Ponorogo. Dalam even Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo jaman dulu, saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten, konon senjata tersebut disucikan atau dibersihkan terlebih dahulu untuk menghormati leluhur, bahkan bukan hanya senjata tersebut yang harus dibersihkan tetapi masyarakat pada umumnya mempercayai kekeramatan hari tersebut untuk menambah ilmu-ilmu kebatinan yang mereka anut maupun benda-benda pusaka yang mereka miliki harus dibersihkan pula. Menurut Dodik Sri Suryadi, pemimpin jalannya upacara sekaligus Ketua Paranormal Kabupaten Ponorogo, Batara Kathong alias Lembu Kanigorodiya kini sebagai putera Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dari Majapahit yang diminta memerangi kerajaan Wengker agar tunduk pada kerajaan. Singkatnya, setelah melalui peperangan yang dasyat, Wengker pun dapat ditundukkan. Dan untuk menandainya dipindahlah pusat kekuasaan dari kota wetan (timur) menuju kota tengah atau pusat pemerintahan sekarang. Sementara berdasarkan catatan arkeologis dari batu gilang tercatat bahwa Ponorogo berdiri sejak 11 Agustus 1496 M yang digambarkan dalam candra seng kalamemet, berwujud gambar: manusia, pohon, burung garuda dan gajah, yang berarti angka 1418 saka.

6.    Ritual Telaga Ngebel
Asal muasal dari Telaga Ngebel sendiri berasal dari cerita yang berkembang di masyarakat, Telaga Ngebel mempunyaiceritaunik yang didasarkan pada kisah seekor ular naga bernama “Baru Klinting”. Sang Ular ketika bermeditasi secara tak sengaja dipotong-potong oleh masyarakat sekitar untuk dimakan.Secara ajaib sang ular menjelma menjadi anak kecil yang mendatangi masyarakat dan membuat sayembara, untuk mencabut lidi yang ditancapkan di tanah.

Namun tak seorangpun berhasil mencabutnya. Lantas dia sendirilah yang berhasil mencabut lidi itu. Dari lubang bekas lidi tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk Telaga Ngebel. Legenda Telaga Ngebel, terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Kantong. Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.
Sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa.
Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan buki tmerupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini.
Perahurekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintas itelaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu semakin menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, seperti apa yang dikatakan Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya. Mbah Budi adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat.Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejakitu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel.Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit,dan beencana yang selaludatanghinggakini.
Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat. Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong.Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong.Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju.Batoro Katong yang merupakanputra Raja Brawijayake V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga.Tempat Batoro Katong singgah pun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan member sesaji di tempatini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya.Puncaknya adalah saat malam 1 Suro.


Sumber:
http://omahsinten.net/2012/01/romantika-ritual-sekaten-kota-solo/
http://www.indosiar.com/ragam/ritual-ngalap-berkah-sesepuh-kraton-surakarta_83901.html
http://uniqpost.com/45029/malem-selikuran-ritual-mesjid-agung-surakarta-menyambut-lailatul-qadar/
http://www.karanganyarkab.go.id/20110808/mahesa-lawung/
http://rumpoko10.blog.ugm.ac.id/2010/11/04/ritual-ritual/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar