PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Pengertian Perjanjian Internasional
Secara
umum, Perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah
hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi
internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang
mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat
antara dua negara. Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang
dibuat oleh lebih dari dua negara.
Perjanjian
Internasional menurut para ahli:
a.
Mochtar
Kusumaatmadja, SH. LL.M
Perjanjian
internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
b.
Konferensi
Wina 1969
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang
bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dipatuhi
oleh setiap negara berdasarkan hukum internasional yang berlaku.
c.
Oppenheimer
Dalam
bukunya yang berjudul International Law, Oppenheimes mendefinisikan perjanjian
internasional sebagai “international treaties are states, creating legal rights
and obligations between the parties” atau perjanjian internasional melibatkan
negara-negara yang menciptakan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian tersebut.
Syarat – syarat
untuk membuat perjanjian Internasional:
1. Negara – negara yang tergabung dalam
organisasi
2. Bersedia mengadakan ikatan hukum tertentu
3. Kata sepakat untuk melakukan sesuatu
4. Bersedia menanggung akibat – akibat hukum
yang terjadi.
Macam – Macam
Perjanjian Internasional
Ditinjau dari
berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat)
segi, yaitu:
1. Perjanjian
Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
a.
Perjanjian
Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta
atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum
internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah
hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak
perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara
penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian
tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak
akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan.
Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak
atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke
dalam perjanjian tersebut.
b.
Perjanjian
Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau
pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum
internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa
bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak
perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang
bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah
yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang
terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus
tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian
bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan
perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya,
isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut
dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta
dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak
lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini
mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan
bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian
multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta
sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian
multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum
internasional yang berlaku secara umum atau universal.
2. Perjanjian
Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya
a.
Treaty
Contract. Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan
perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan
saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian
multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan
tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja,
maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di
dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak
yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga
untuk ikut serta di dalamnya.
b.
Law
Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan
perjanjian- perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang
dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula
tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian
perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang
dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang
dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut,
melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena
itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara
perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain
yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian
tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya
maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum.
3. Perjanjian
Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
a.
Perjanjian
Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian melalui dua tahap ini hanyalah
sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin
diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation) dan
tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan wakil-wakil para
pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara khusus membahas dan
merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya
merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa naskah
perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka
perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap,
mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah
perjanjian yang telah disepakati itu.
b.
Perjanjian
Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang
melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua
tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada
perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara
penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para
pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah
yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah
perjanjian. Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak
tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan
kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi.
Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu
baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut
isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada
umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi
para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak
pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang
bersangkutan.
4. Perjanjian
Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya
Pembedaan atas Perjanjian Internasional
berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada
naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional
hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian
Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas waktu
berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud dan tujuan
perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan untuk berlaku
dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek yang
diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya, maka
perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang
perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena
dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan
selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih
mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian
ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri.
Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang
mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang
bersangkutan.
Tahap
– tahap dalam membuat perjanjian internasional
Perjanjian
internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian
internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap
perundingan, tahap penandatanganan, dan tahap ratifikasi.
1.
Perundingan
(Negotiation)
Tahapan ini merupakan suatu penjajakan
atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan.
Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara
dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila
dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak
diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu
perundingan tanpa membawa full power adalah kepala negara, kepala pemerintahan
(perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat
tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang
disandangnya.
Perundingan dalam rangka perjanjian
internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan
(talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral disebut
konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga
perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor talk.
Hukum internasional dalam tahap
perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada seseorang tanpa full powers
untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan internasional. Seseorang
tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan dianggap
sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada
negara yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara
dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak
ada pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak
pernah ada.
2.
Tahap
Penandatanganan (Signature)
Tahap penandatanganan merupakan proses
lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini diakhiri dengan penerimaan
naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of
the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan
negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian
nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui
penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila
diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut
konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah
ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta
konferensi.
Pengesahan bunyi naskah dilakukan oleh para perwakilan negara yang
turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun
multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan
cara melakukan penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan
paraf (initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima
bunyi naskah perjanjian.
Penandatanganan dilakukan oleh menteri
luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan menandatangani suatu
naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk
mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi,
pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
3.
Tahap
Ratifikasi (Ratification)
Pengesahan atau ratifikasi adalah
persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu
perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan
perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan
oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian
internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para
pihak.
Setelah penandatanganan naskah
perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara peserta perundingan,
maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya
masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu
apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan
nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui
batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian
tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratifikasi
untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh
wakil-wakil yang berkuasa tersebut.
Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan
kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan dan
pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian
internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi
tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu
naskah perjanjian internasional di negara tersebut.
Setelah
melewati tiga tahap tersebut diatas, perjanjian internasional dapat disahkan
oleh presiden. Dalam megesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga
pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
deprtemen maupun nondepartemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan,
rancangan undang – undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional dimaksud serta dokumen – dokumen lain yang diperlukan.
Lembaga pemrakarsayang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun nondepartemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan
dan/atau materi permasalahan bersama dengan pihak – pihak terkait. Prosedur
pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui materi untuk
disampaikan kepada presiden . setiap undang – undang atau keputusan presiden
tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam lembaran negara
Republik Indonesia.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar